Jelajahi Web

Ramadhan, Iklan, dan Iman


Jauh hari sebelum memasuki ramadhan, telah banyak bermunculan promosi  aneka jenis makanan, minuman dan berbagai kampanye berbau Islami, tak ketinggalan para politisi juga memasang berbagai macam  baliho di sudut –sudut kota dengan berbagai busana islami seraya mengucap ucapan selamat datang Ramadhan.

Mungkin juga mereka ini bagian dari korban iklan yang saya sebut diatas, entahlah. Namun terlepas dari itu, kepentingannya mereka hanya satu yaitu  didesain untuk merangsang para khalayak.

Saya teringat dengan tulisan seorang budayawan yang cukup familiar dan sensasional, seorang tokoh dengan raut wajah yang sudah mulai keriput tapi dikagumi oleh banyak kaum hawa. Goenawan Muhammad, dalam tulisannya tentang teks dan iman, ia mengutip lelucon dari grouch Marx yang menghubungkan acara televisi yang buruk dengan buku. “Menurut hemat saya, televisi itu sangat edukatif”, kata pemain komedi tahun 1930-an itu. “tiap kali ada orang yang menyetelnya, saya langsung pergi ke kamar lain dan membaca buku yang menyenangkan.” Tapi di Indonesia, telenovela dengan wajah – wajah yang rupawan, film silat dengan pukulan – pukulan yang ajaib, dan puluhan kuis yang tidak menginginkan kecerdasan, semuanya begitu gilang – gemilang, dan orang yang biasa duduk didepannya, bersama – sama, rukun dan terpukau.

Namun jika  Kitab suci dibacakan dan dikaji, semua berharap cepat untuk selesai dan bahkan ada yang lebih memilih tidur dibanding mendengar hikmahnya. Kitab suci  sekedar jadi pajangan hiasan rumah yang tak pernah dibuka, dibaca dan didalami. lagi – lagi hanya untuk mengesankan bahwa kita islam yang “taat”.

Ramadhan mestinya menjadi introspeksi keimanan kita, momentum suci menapaki jalan ilahiah. Namun ternyata, kebanyakan kita lebih patuh, tertib dan terpengarah dengan keramaian yang tak berarti.

Keimanan kita dilahirkan dari bentuk kesadaran palsu, kesadaran yang lahir dari beribu kata –kata yang diproduksikan, terutama melalui surat kabar, radio, televisi, mimbar,megafone dan sebagainya. Sepertinya kitab suci itu telah digantikan dengan iklan pakaian mewah.

Kita lebih teliti memilih warna dan corak yang lebih menarik, agar supaya selalu tampil modis dan sok alim. Kita lebih asyik dan disibukkan memikirkan siyrup dan jenis makanan yang enak untuk santap buka puasa. Kita lebih teliti memilih bahan kue untuk menyabut hari fitri. Bagaimana mungkin kita membiarkan itu ? Kita harus sadar bahwa abad ini dominan menghendaki sekularisme dalam bentuk apapun. Dunia yang menafikkan hubungan antara aturan agama dengan perilaku sosial.

Seberapa sering kita menapikkan keberadaan tuhan disetiap hembusan nafas kita yang selalu membisikkan kata “kembali”. Tidakkah kita malu, berbusana kemilau namun jiwa kita dalam keadaan telanjang dan berbau busuk. Hiasan dunia dengan berbagai kemewahannya yang terbatas, semakin menenggelamkan kita dalam kubangan lumpur yang hitam dan bau. Kita sepenuhnya sadar bahwa keimanan kita telah direnggut dan terbuang karena hasrat dan kecintaan yang amat besar pada dunia ini.

Rasulullah dalam rintihan doanya menyambut Ramadhan, menggugah  dan menawarkan pada kita jalan yang penuh dengan kenikmatan, kebahagiaan dan keselamatan pada tiap manusia. Sungguh Ramadhan bulan yang tiap detiknya bercucuran rahmat.

Tangan yang kalian tengadahkan ke atas langit dan air mata yang mebasahi pipi kalian, sungguh menjadi air surgawi yang melidungi dari panasnya api neraka. Bulan yang tangisan pilu pertaubatan pendosa di ijabah oleh Allah SWT. Kenapa kalian lebih senang berapling daripadanya, adakah nikmat lebih besar dari itu semua. Allah SWT senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya, menjawab ketika diminta, menyambut ketika diseru. Allah yang maha tinggi bersumpah demi keagungan dan kebesaran-Nya, ia tak akan menyiksa kerongkongan yang kering dan wajah yang lusuh, lelah karena ibadah. Maka sambutlah Ramadhan dengan upaya yang sangat keras, berhati – hatilah untuk tidak tidur sepanjang malam dan ceroboh pada siang harinya, dan akibatnya begitu bulan ini berlalu engkai masih membawa dosa – dosamu.

Marhaban Ya ramadhan.......

OLEH : Afrianto Nurdin

0 Response to "Ramadhan, Iklan, dan Iman"