Jelajahi Web

Ramadhan Mengintrospeksi

Saya membayangkan orang – orang di kota ini. Disini, di masa ini;  sastrawan, media, profesor, para pejabat pemerintahan  dan rakyat jelata bercampur baur dalam duka kejiwaan yang mendalam, menuai hasil dari  apa yang mereka pelajari di bulan suci ini, belajar hidup dengan nafas kemuliaan dan mengoyak ego yang terpaut sekian lama karena dendam, amarah dan kepicikan.

Beberapa orang mungkin tertawa dengan cerita ini, sambi lalu mengatakan “no way” bahkan  dengan sikap yang sangat pesimis.  Saya tak tahu adakah harapan ini telah menjadi kemauan besar bagi semua orang di kota ini, ataukah pandangan yang demikian sudah dianggap sebagai suatu yang lazim,lucu, angan – angan atau dibiarkan saja.

Tapi tidakkah itu mungkin jika semua mengakui dengan perasaan yang bersalah,tak lagi memosisikan diri dengan keegoan yang memberi batasan dan garis yang benar dan salah, menjadi alternatif yang pas dan arif atas pertikaian yang sudah sedemikian karutnya.

Bukankah kerja pemerintahan itu kerja ramai, bukan milik satu orang, satu keluarga atau bahkan sekelompok tertentu saja?. Tidakkah kalian mengingat bagaimana orang –orang berdiskusi siang dan malam, memusatkan seluruh pikiran dan tenaganya untuk menciptakan satu peradaban baru di tana Sawerigading ini yang disebut kota.

Kalian sadara bahwa generasi datang dan pergi, mereka akan membentuknya dan menatanya.  Seorang besar memperoleh arti karena beribu  -ribu orang yang tak dikenal datang  sebelumnya, bersamanya dan sesudahnya. Lalu, mana mungkin kalian memilih kisah buruk dan memalukan untuk diceritrakan pada generasi mendatan, menatap kita dengan caci dan nista yang menuduhmu sebagai biang kerusakan kota ini.

Kau tahu soalnya memang tak mudah, latar belakang masyarakat yang terdiri dari berbagai macam etnis,agama dan budaya, lalu kenapa tidak kau ajak dan rangkul dalam satu pelukan “persaudaraan”. Kau juga pada awalnya pernah bertutur dengan sangat semangat, mengajak khalayak untuk menyelesaikan masalah dengan diskusi. Sudahlah, parodi ini membuat orang mengeluarkan berbagai ciutan dan silang pendapat.

Saya kira pada akhirnya agak sulit jika masalah ini telah masuk dalam ruang politik yang sedemikian girangnya menghempas rasa kemanusiaan orang. Namun ada satu pandangan fitrah dan universal yang mempertautkan kita, yaitu mencintai kebaikan. Erat kaitannya dengan keimanan, bukankah kita manusia yang beragama, beriman pada nilai universalitas.

Iman itu kata gusdur adalh sebuah obor. Sang mukmin menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai suluh adalah iman seorang yang takut menemui yang berbeda dan tak terduga. Terkadang nyala obor itu redup dan bergoyang, tapi ia tak pernah padam. Bila padam, ia menandai perjalanan yang telah berhenti.
Kita lebih bangga punya pemimpin yang menampakkan kewibaannya dengan pancaran keimanan yang kuat, ketimbang yang nampak adalah kepura –puraan dan perselingkuhan. Karena keimanan itu seperti obor, maka jangan sekali – kali memadamkannya ditengah keramaian. Dalam keadaan ini, kita semua harus menjaganya.

Afrianto Nurdin

0 Response to "Ramadhan Mengintrospeksi"