Generasi perlahan pergi. Daun berguguran. Pohon lainnya kemudian tumbuh. Gugur lagi dan tergantikan pohon yang lainnya. Begitu seterusnya sampai datang perambah hutan, gugur dan tumbang kemudian judulnya.
Perambah jauh ke dalam hutan. Menenteng chainsaw yang memecah kesepian di hutan belantara Tana Luwu. Terus jauh ke dalam hutan, pria kekar itu ditemani anaknya yang terpaksa membantu karena himpitan hutang.
Kini hutang dan hutan menjadi satu di tengah kesepian. Lebih dalam lagi, ketika perambah dan anaknya mendekati tepi hutan lainnya, dia melihat lautan luas. Di situ hutan masih rapat sekali, bisa saja orang belum sampai ke tepian hutan yang ini, gumam perambah dalam hati kemudian memandang sang anak.
Tiba-tiba sang Anak melihat bahtera. Besar, dan karena besarnya, perambah tak bisa membandingkan dengan kapal-kapal yang pernah berlabuh di Tanjung Ringgit.
Anak dan Bapak itu kemudian memutuskan untuk mendekati bahtera yang tampaknya baru saja dibina itu. Di dekat situ, tampak seseorang yang gagah perkasa berdiri memandang jauh ke lautan. Adalah Sawerigading.
Sosok pria yang kekar dengan jubah hitang membungkus tubuhnya tak geming. Sedang perambah yang masih menenteng chainsaw itu memutuskan untuk tidak mendekat. Pikirannya langsung ke sesuatu yang jauh melampaui dunianya.
Tanpa disadari, ketika dia belum juga melepas pandangannya dari pria berjubah hitam itu, Anaknya sudah berada di sana. Perambah itu bingung, dia hendak mendekat, tapi terjebak dengan pikirannya. Dia hanya bisa memandang. Melihat dari jauh ketika anaknya membuka pembicaraan.
Anak Perambah : Paman, apakah itu kapalmu?
Sawerigading membalikkan badan ke bocah 14 tahun yang masih terselimut keluguan yang menghancurkan lamunannya.
Sawerigading : Iya, benar!
Anak Perambah : Paman mau kemana?
Sawerigading : Saya belum tahu!
Anak Perambah : Paman siapa?
Sawerigading : Saya sebenarnya adalah pemimpinmu, dulu sebelum kamu dan orang tua mu lahir. Bahkan sebelum buyut dari buyut orang tua mu lahir.
Anak itu hanya bisa menggaruk kepala. Bingung dengan apa yang dikatakan Sawerigading.
Suami dari We Cudai itu melanjutkan pembicaraannya.
Sawerigading : Saya adalah Sawerigading. Apa kamu pernah mendengar namaku?
Anak perambah terdiam seketika. Mencoba membuka memorinya mencari berkas tentang pria yang ada di hadapannya itu.
Anak Perambah : Oh, Sawerigading. Saya pernah mendengar nama Paman dari buku cerita. Kenapa Paman membangun kapal?
Sawerigading : Saya mau meninggalkan kampung ini. Karena tak lagi ada orang yang mengenaliku. Mereka hanya melihat saya sebagai sebuah cerita kosong yang tak mencerminkan mereka hari ini. Bahkan sebagian orang takut lagi menyebut namaku, karena ketika mendiskusikan tentangku, orang itu bisa saja dianggap gila oleh lawan bicaranya.
Kapal ini saya bangun untuk perjalanan panjangku. Menuju langit. Tempat dimana orang menghargai masa lalu. Tempat yang orang-orangnya tak melupakanku.
Sebenarnya Anakku, saya telah kalian usir dari tanah ini. Sebab kalian tak sedikitpun mau mencari tahu tentang aku dan masa lalu kalian. Kalian hanya memikirkan perut saja, yang sebenarnya tanpa kalian sadari jika kalian tak akan mungkin kelaparan di tanah ini. Tanah yang subur sejak Aku meninggalkannya untuk mempersunting istriku di China.
Anak itu hanya bisa diam. Bingung dalam ketidak tahuannya, kemudian diapun manggut-manggut seolah paham. Sawerigading kemudian melempar daun sirih ke laut, kapalnya mendekat. Pelangi turun tepat dihadapan bahtera itu.
Sawerigading kemudian meninggalkan Anak perambah itu. Menaiki bahteranya yang tak memiliki penumpang lain selain dia. Sawerigading mengangkat taman, bunyi guntur menggelgar, kapalnya tak menyusuri laut, melainkan jalan pelangi.
Anak itu menelan liarnya. Dia tak percaya terhadap apa yang dilihatnya kemudian, ketika kapal itu hilang bersama pelangi.
Perambah jauh ke dalam hutan. Menenteng chainsaw yang memecah kesepian di hutan belantara Tana Luwu. Terus jauh ke dalam hutan, pria kekar itu ditemani anaknya yang terpaksa membantu karena himpitan hutang.
Kini hutang dan hutan menjadi satu di tengah kesepian. Lebih dalam lagi, ketika perambah dan anaknya mendekati tepi hutan lainnya, dia melihat lautan luas. Di situ hutan masih rapat sekali, bisa saja orang belum sampai ke tepian hutan yang ini, gumam perambah dalam hati kemudian memandang sang anak.
Tiba-tiba sang Anak melihat bahtera. Besar, dan karena besarnya, perambah tak bisa membandingkan dengan kapal-kapal yang pernah berlabuh di Tanjung Ringgit.
Anak dan Bapak itu kemudian memutuskan untuk mendekati bahtera yang tampaknya baru saja dibina itu. Di dekat situ, tampak seseorang yang gagah perkasa berdiri memandang jauh ke lautan. Adalah Sawerigading.
Sosok pria yang kekar dengan jubah hitang membungkus tubuhnya tak geming. Sedang perambah yang masih menenteng chainsaw itu memutuskan untuk tidak mendekat. Pikirannya langsung ke sesuatu yang jauh melampaui dunianya.
Tanpa disadari, ketika dia belum juga melepas pandangannya dari pria berjubah hitam itu, Anaknya sudah berada di sana. Perambah itu bingung, dia hendak mendekat, tapi terjebak dengan pikirannya. Dia hanya bisa memandang. Melihat dari jauh ketika anaknya membuka pembicaraan.
Anak Perambah : Paman, apakah itu kapalmu?
Sawerigading membalikkan badan ke bocah 14 tahun yang masih terselimut keluguan yang menghancurkan lamunannya.
Sawerigading : Iya, benar!
Anak Perambah : Paman mau kemana?
Sawerigading : Saya belum tahu!
Anak Perambah : Paman siapa?
Sawerigading : Saya sebenarnya adalah pemimpinmu, dulu sebelum kamu dan orang tua mu lahir. Bahkan sebelum buyut dari buyut orang tua mu lahir.
Anak itu hanya bisa menggaruk kepala. Bingung dengan apa yang dikatakan Sawerigading.
Suami dari We Cudai itu melanjutkan pembicaraannya.
Sawerigading : Saya adalah Sawerigading. Apa kamu pernah mendengar namaku?
Anak perambah terdiam seketika. Mencoba membuka memorinya mencari berkas tentang pria yang ada di hadapannya itu.
Anak Perambah : Oh, Sawerigading. Saya pernah mendengar nama Paman dari buku cerita. Kenapa Paman membangun kapal?
Sawerigading : Saya mau meninggalkan kampung ini. Karena tak lagi ada orang yang mengenaliku. Mereka hanya melihat saya sebagai sebuah cerita kosong yang tak mencerminkan mereka hari ini. Bahkan sebagian orang takut lagi menyebut namaku, karena ketika mendiskusikan tentangku, orang itu bisa saja dianggap gila oleh lawan bicaranya.
Kapal ini saya bangun untuk perjalanan panjangku. Menuju langit. Tempat dimana orang menghargai masa lalu. Tempat yang orang-orangnya tak melupakanku.
Sebenarnya Anakku, saya telah kalian usir dari tanah ini. Sebab kalian tak sedikitpun mau mencari tahu tentang aku dan masa lalu kalian. Kalian hanya memikirkan perut saja, yang sebenarnya tanpa kalian sadari jika kalian tak akan mungkin kelaparan di tanah ini. Tanah yang subur sejak Aku meninggalkannya untuk mempersunting istriku di China.
Anak itu hanya bisa diam. Bingung dalam ketidak tahuannya, kemudian diapun manggut-manggut seolah paham. Sawerigading kemudian melempar daun sirih ke laut, kapalnya mendekat. Pelangi turun tepat dihadapan bahtera itu.
Sawerigading kemudian meninggalkan Anak perambah itu. Menaiki bahteranya yang tak memiliki penumpang lain selain dia. Sawerigading mengangkat taman, bunyi guntur menggelgar, kapalnya tak menyusuri laut, melainkan jalan pelangi.
Anak itu menelan liarnya. Dia tak percaya terhadap apa yang dilihatnya kemudian, ketika kapal itu hilang bersama pelangi.
0 Response to " Mengusir Sawerigading"