Siapa kuat dia menang. Mereka yang tak sanggup mempertahankan haknya, haru bermigrasi mencari tempat hidup lainnya. Itulah kenyataannya.
Pagi sekali, seorang Anak harus berkemas. Semua barang pribadinya dimasukkan ke dalam tas. Baju, celana, sepatu, dan juga seragam sekolahnya. Dia juga merapikan buku-bukunya, dia mengambil satu per satu, mulai dari buku matematika, IPA, IPS, seterusnya, dan terakhir dia melihat satu buku bergambar lambang negara Indonesia, dia dekap kemudian digabungkan dengan buku yang lain.
Dia disuruh mencari tempat yang aman oleh sang Ayah. Anak itu kemudian membawa barang-barangnya bersama sang Ibu yang menggendong Adiknya ke sebuah lorong lembab.
Ayahnya sendiri memberi harapan. Dia akan berjuang mempertahankan haknya.
Ayahnya kemudian pergi bersama dengan lelaki dewasa lainnya di jalan masuk ke kompleks pemukiman. Hanya bermodal kata-kata dan belas kasih. Meski demikian, beberapa lainnya siap mati untuk mempertahankan tanahnya yang sebentar lagi akan digusur.
Pasukan berseragam merengsek dengan tameng. Diikuti alat berat di barisan belakang. Lelaki dewasa di kampung itu tak bisa berbuat banyak. Maju berarti bunuh diri, sementara hidup harus terus berlanjut.
Selesai sudah peristiwa di ibu kota negara itu. Tak punya harapan tinggal di ibu kota lagi, keluarga kecil itu kemudian sepakat pindah ke daerah. Mereka berpikir postif. Di daerah tentu lebih aman dari pada di kota.
Tahun-tahun berlalu. Mereka menetap di Kota Palopo. Di situ, mereka membeli sebidang tanah, membangun rumah, dan mulai tersenyum lebar lagi.
Anak itu beranjak dewasa, dia kemudian menjadi tulang punggung keluarga. Kesehariannya di Palopo cukup normal, bekerja, bergaul, dan belajar.
Namun, kehidupan yang telah tertata baik itu kembali tersayat. Lahan tempat tinggal mereka digugat dan dimenangkan satu orang yang mengaku pemilik sah dari lahan itu.
Peristiwa yang coba dilupakannya ketika kecil itu kembali jelas dalam ingatan. Sekarang, bersama sang ayah, dia akan mempertahankan haknya.
Semua kembali sia-sia, pasukan berseragam merengsek dengan tameng seperti sebelumnya. Kemudian diikuti alat berat di barisan belakang. Lelaki dewasa di kampung itu tak bisa berbuat banyak. Maju berarti bunuh diri, sementara hidup harus terus berlanjut.
Dengan penuh kesabaran, mereka tak berputus asa. Tentu masih ada tempat aman di Bumi ini. Pilihannya kemudian ke hutan rimba, jauh dari perkotaan, dan spekulan.
Keputusan keluarga itu bulat. Mereka kemudian berpindah ke dataran tinggi Luwu Utara, Seko. Di sana, safanah membentang, suhu cukup dingin walau sudah tengah hari. Tak ada deru mesin mobil, listrik jadi barang mahal, dan spekulan menurut mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa di daerah terpencil itu.
Waktu berlalu, sang Anak kini menjadi seorang ayah. Kesehariannya penuh dengan suka cita, berkebun, beternak, dan berlari ke hutan.
Tiba-tiba, tersiar kabar. Tempat dimana mereka akan tinggal akan dibangun sebuah pembangkit listrik. Awalnya biasa saja, dan bahkan ada yang menyambut gembira.
Kabar terus menggelinding, masuk dari satu rumah ke rumah lain. Akan dibangun bendung besar tak jauh dari kampungnya, jika itu dibangun, kampung mereka akan tenggelam. Bukan hanya kampung mereka, lima desa lainnya akan bernasip yang sama.
Anak yang sudah menjadi ayah itu tak tahan dengan kabar itu. Ini sudah menjadi yang ketiga kalinya. Kesabaran yang diajarkan ayahnya tetap dipegang teguh. Tapi, apa. Dia sekarang tak bisa lagi berpikir mau pindah kemana.
Pasukan berseragam merengsek dengan tameng. Diikuti alat berat di barisan belakang. Lelaki dewasa di desa terpencil itu tak bisa berbuat banyak. Maju berarti bunuh diri, sementara hidup harus terus berlanjut.
Anak itu hanya pasrah. Dia kemudian mengadu ke langit, agar langit bisa menyediakan tempat tinggal baginya dan keluarganya.

0 Response to "Aku Harus Tinggal Dimana?"