Jelajahi Web

Nyanyian Sendu Pedagang PNP

Zulham
Sebagai episentrum pergerakan ekonomi kerakyatan, banyak hal-hal menarik jika kita bertandang ke Pusat Niaga Palopo. Salahsatunya adalah laku para pedagang ikan yang berada di blok basah sebelah utara. Di sana, kita kerap didendangkan nyanyian-nyanyian merdu khas Bugis pesisir. Suara mereka serak-serak basah, menari-nari, dan terkadang jenaka. Galibnya sebuah nyanyian, lantunan merdu berbahasa Bugis itu adalah penghibur. Namun demikian, sadarkah anda bahwa nyanyian-nyanyian tersebut ternyata adalah sebuah ‘pemikat’?

Itulah yang biasa kita sebut kelong-kelong ugi! Jenisnya termasuk elong eja-eja yang bersyair hiburan atau berpantun jenaka. Di dalam lingkungan PNP, ia merupakan penghibur, karena syairnya akan membangkitkan semangat si pedagang ikan tersebut. Dan bersifat ‘pemikat’ karena ia bertendensi untuk menarik perhatian pembeli.

Karena tendensi untuk menarik perhatian pembeli itulah kemudian, laku budaya para pedagang ikan ini bisa kita golongkan sebagai salahsatu strategi pemasaran. Walau berlabel pasar tradisional, ternyata pada dasarnya, praktik pemasaran modern juga telah diterapkan. Mungkin, kelong-kelong ugi ini bisa kita asosiasikan dengan jingle-jingle pada iklan produk yang diperdengarkan di minimarket dan tenant-tenant pasar modern. Perbedaannya, jingle iklan tersebut sudah dikemas permanen secara digital dan diputar secara elektronik, dan kelong-kelong ugi masih manual didendangkan langsung dari mulut si pemasar. Jingle iklan unggul pada kualitas suara dan aransemennya, sedangkan kelong-kelong ugi unggul pada content yang costumize atau bisa diimprovisasi.

Namun sayangnya, kelong-kelong ugi ini semakin hari semakin tidak nyaring bunyinya. Nyanyian yang bersahut-sahutan dan memekakkan telinga mungkin tinggal nostalgia tahun 90-an dan sebelumnya saja. Salahsatu penyebabnya adalah karena adanya regenerasi pada individu pedagang ikan yang ada di PNP. Saat ini merupakan era generasi kedua-ketiga dari generasi awal para pedagang ikan di PNP (dulu Pasar Sentral Palopo). Dan seperti sikap dari kebanyakan orang-orang tua kita terhadap ritus-ritus budaya, elong-kelong ugi ini gagal untuk diwariskan. Dan atas nama modernisasi, generasi kedua-ketiga ini pun apatis terhadap metode pemasaran tersebut. Seakan ingin mengikuti karakter pasar modern, radio tape pun diboyong masuk PNP, dan berdendanglah musik beraliran dangdut dan metal (melayu total). Alhasil, kita kemudian mengalami ancaman terhadap hilangnya karakter Pusat Niaga Palopo. Nyanyian para pedagang ikan kita semakin sendu!

Tradisional versus Modern

Nyanyian sendu ini bisajadi juga mengonfirmasi betapa energi berbisnis di PNP juga semakin meredup akibat persaingan dengan minimarket dan pasar-pasar modern lain. Kita tak boleh menutup mata dan telinga atas keluhan para pedagang-pedagang ini. Pertumbuhan minimarket dan pasar modern 2 tahun belakangan ini semakin menggeser dominasi PNP. Hal ini sesuai pula hasil riset yang dilakukan Anggraini (2013) di Semarang yang menunjukkan bahwa terjadi konflik yang ditandai  dengan irisan/persinggungan  antara  jangkauan  pelayanan minimarket dan pasar tradisional.

Oleh karena itu, untuk melecutkan energi di PNP, kita sejatinya meninjau kembali kebijakan terbuka terhadap investasi retail modern atau minimarket-minimarket baru. Sudah saatnya melakukan pengetatan izin dan memberikan kesempatan kepada pasar-pasar tradisional untuk memacu dan memburu ketertinggalannya. Memang, ada perbedaan mendasar pada karakter pasar tradisional dan pasar modern, namun sekali lagi, para pedagang kita sudah tidak lagi ‘bernyanyi semerdu dulu’. Mereka kini mulai ‘berteriak tak berdaya’ atas kompetisi yang semakin atraktif yang mereka hadapi.

Selera dan gaya para pembeli dalam berbelanja yang ingin keamanan, kenyamanan, kepraktisan dan kebersihan memang sulit untuk diubah. Namun, pasar tradisional kita (PNP, Andi Tadda, dan Telluwanua) tentu bisa membaca perilaku pelanggan tersebut dan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Saatnya memang berkaca dan belajar untuk lebih mengerti keinginan pasar (baca: pembeli dan masyarakat). Pasar tradisional harus berubah tanpa menghilangkan karakteristiknya yang genuine. Hal itu penting karena selain sebagi ruang ekonomi, pasar tradisional juga merupakan ruang terjadinya pembauran dan transformasi budaya (Hamid, 2010).

Transformasi menjadi pasar yang lebih baik adalah dambaan seluruh warga Kota Palopo. Kebersihan pasar bukan hanya satu-satunya layanan bagi pembeli. Namun, lebih daripada itu semua, ada banyak harapan dari masyarakat kita yang semakin hari semakin cerdas dan idealis. Untuk memulai transformasi manajemen pasar tradisional, kita sejatinya melakukan riset perilaku pelanggan, sebagaimana yang telah disebut di atas. Assesment ini untuk memetakan permasalahan dan preferensi pembeli di PNP. Beberapa hal yang patut untuk ditanyakan kepada pembeli PNP antara lain: apakah mereka nyaman, aman dan praktis belanja di PNP?; apakah mereka tidak terganggu dengan koridor PNP yang menyempit akibat luberan dagangan di tepi dan bagian tengah koridor?; apakah mereka tidak terganggu dengan sepeda motor yang masih biasa kita temukan berjalan di koridor PNP?; amankah mereka memarkir kendaraannya di sekitar PNP?; atau adakah costumer service yang berfungsi di PNP?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sejatinya sudah dipetakan oleh manajemen pasar tradisional kita. Dan hasil dari preferensi pembeli tersebut harus dikomunikasikan dengan para pedagang. Dalam proses ini, asosiasi pedagang sejatinya juga harus bersikap terbuka untuk melakukan perubahan. Manajemen dan pedagang memang harus berubah. Kata meme di media sosial: “Kesatria Baja Hitam saja harus berubah untuk menang melawan monster, apalagi kita!”. Oleh karena itu, mari kita kembalikan energi dan  nyanyian riuh pada pedagang pasar tradisional kita. Saatnya pasar tradisional meraih kembali kemenangan dan kejayaannya.

Zulham A. Hafid

Sumber : zulhamhafid.wordpress.com

0 Response to "Nyanyian Sendu Pedagang PNP"