Hujan kah? Sedikit panik perempuan pengunjung warung kopi malam tadi. Dia dan dua orang rekannya memandang keluar. Dipastikannya hujan turun. Kemudian duduk lemas menyalahkan hujan.
Setidaknya, dia kesal terhadap hujan yang turun tanpa pamit. Juga menjadi alasan kuat dirinya telat pulang. Tulis status dulu, biar semua legal. Toh juga kenyataannya hujan.
Tiga perempuan pengunjung warung kopi melanjutkan candanya. Mereka kesal namun senang. Kesal dengan hujan yang dilampiaskan di media sosial, tapi senang punya waktu ekstra bersama rekannya.
Cerita mengalir sejenak, hening kemudian. Masing-masing menghadap ke dunia maya walaupun sesungguhnya berada di dunia nyata. Sepi tanpa tawa lagi, hingga hujan reda. Kemudian mereka pulang dengan penuh tawa, seolah akrab dalam canda selama bersama.
Lain cerita, dulu waktu kemarau. Seorang wanita baru berkarir meracau tanpa sebab. Tiba-tiba saja ketika calon klien minta bertemu. Panas Pak, kemarau. Balasnya melalui pesan elektornik di handphone mahal yang belum lunas.
Dirinya tampak kacau seketika itu. Dia terperangkap diantara dua pilihan. Berangkat dengan konsekuensi kulit kering karena panas atau tetap ditempat menanti klien lain yang belum tentu datang.
Belum lagi dikatakan kepada rekannya jika debu ada dimana-mana. Calon klien yang menghubunginya juga mungkin saja PHP. Alasannya pun segunung, sekejap itu. Dia membatalkan pertemuan, demi kulit yang tetap terawat. Maklum, baru berkarir jadi masih bermotor.
Intinya bukan pada musim hujan dan kemarau itu. Pula, bukan terhadap perempuan dan wanita. Tapi ini tentang musim baru. Musim yang agak aneh dan baru populer 10 tahun terakhir melalui media.
Dulu namanya banjir musiman. Dikatakan seperti itu karena banjir itu hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu. Setahun sekali, dua tahun sekali, ada juga yang setiap hujan deras terjadi banjir di desa atau wilayah tertentu.
Tapi, tren istilah banjir musiman perlahan mulai berubah. Sudah mendekati istilah 'musim banjir'. Jika itu menjadi tren, banjir akan mejadi satu musim di Tana Luwu, sehingga ada tiga musim kelak dirasakan anak cucu kita. Musim hujan, musim kemarau, dan 'musim banjir'.
Seperti ketika seorang yang terkemuka hadir, lagi-lagi di warung kopi. Dia datang dengan pengawalan. Bajunya rapi. Menjabat setiap orang yang ada dengan senyum penuh simpatik.
Saya menyambutnya. Saling tukar menukar senyum, tangan pun terjabat. Saya tanya soal banjir. Dia kembali tersenyum. Kemudian dia jawab dengan hangat, walau banyak yang kedinginan karena banjir. Itu sudah biasa dan memang sudah musimnya, katanya.
Biasa menurutnya, karena banjir itu tidak berlangsung lama di desa-desa tertentu. Sejam dua jam, airnya akan hilang sendiri.
Di situ saya diam saja. Mendengar dan kemudian kembali sibuk dengan kopi susu yang ada di hadapanku. Aku bahkan sempat hanyut berkenaan dengan jawabannya.
Sudah musimnya? Senyum sendiri saya dibuatnya, ternyata perubahan iklim melahirkan satu musim baru. 'Musim banjir'.
Mudah-mudahan 'musim banjir' yang identik dengan musim hujan tidak sama di lain sisi. Khawatirnya, jika ada hujan buatan, akan ada juga banjir buatan kelak.

0 Response to "Banjir Menjadi Musim Ketiga di Luwu"